Dewan Pakar FPII: " Kasus Penganiayaan Anak Ketua Presidium FPII P21, Segera Tahan Pelaku!
JAKARTA--Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dari Polres Lombok Barat No.B/54/VI/RES.1.6./2024 /Reskrim bahwa proses penyelidikan terhadap perkara dugaan kekerasan terhadap RTP (14) Siswa Kelas VII SMP Islam Nurul Madinah Putra dari Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Dra.Kasihhati yang terjadi pada Jumat 10 Mei 2024 sekitar pukul 18.30 WITA di Warung yang berjarak sekitar 300 Meter dari Pondok Pesantren Nurul Madinah Jl. Pramuka No 25B Pelulan-Kuripan Utara, Kuripan Utara, Kec. Kuripan, Kab. Lombok Barat Prov. Nusa Tenggara Barat.
"Kami memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara Laporan Polisi Nomor:LP/B/63/V/2024/SPKT/POLRES LOBAR /POLDA NUSA TENGGARA BARAT, Tanggal 10 Mei 2024 dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum, selanjutnya terhadap tersangka dan barang bukti akan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Mataram." kata Kasat Reskrim Polres Lombok Barat AKP Abisatya Darma Wiryatmaja, S.Tr.K.S.I.K., saat di konfirmasi awak media.
"Penganiayaan anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang serius. Hukum negara Indonesia mengatur perlindungan anak dan memberikan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat dengan pidana penjara dan denda, tergantung pada tingkat kekerasan yang dilakukan.” kata Dewan Pakar Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Lilik Adi Gunawan, S.Ag saat diwawancara awak media pada Kamis, (15/8/2024) .
"Walaupun Kapolres Lombok Barat AKBP Bagus Nyoman Gede Junaedi sudah dimutasi menjadi Kapolres Sumbawa, Kami berharap Kapolres Lombok Barat yang baru AKBP. I Komang Sarjana tetap memproses kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur hingga pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal sehingga ada efek jera." tegas Lilik Adi Gunawan.
Lilik Adi Goenawan memaparkan kami mohon dengan hormat kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mataram dapat memberikan tuntutan yang seberat-beratnya kepada terduga pelaku kekerasan terhadap anak dan segera menahan tersangka hingga Hakim PN Mataram memberikan hukuman seadil-adilnya karena kita semua mempunyai anak tentu tak rela dan ridho dengan alasan apapun jika menganiaya anak dibawah umur.
"Pelaku terduga penganiaya anak dibawah umur adalah R (25) Mahasiswa Udayana semester akhir hingga anak kami mengalami luka lebam dibagian wajah sebelah kiri dan kanan hingga mengalami trauma berat." jelas Lilik.
Hukum acara pidana adalah serangkaian aturan dan prosedur yang mengatur tata cara penegakan hukum terkait tindak pidana.
Ini melibatkan proses hukum yang terjadi mulai dari penyelidikan, penangkapan, penyidikan, persidangan, hingga eksekusi hukuman. Hukum acara pidana bertujuan untuk memastikan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum dalam penanganan kasus pidana.
Proses hukum acara pidana pertama adalah penyelidikan. Penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan adanya dugaan tindak pidana. Selama penyelidikan, petugas penyelidik akan memeriksa tempat kejadian perkara, mengumpulkan keterangan saksi, dan mengumpulkan barang bukti yang relevan.
Proses hukum acara pidana kedua adalah penangkapan. Jika berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan cukup bukti yang menunjukkan kemungkinan terjadinya tindak pidana dan adanya kebutuhan penahanan, tersangka dapat ditangkap. Penangkapan dilakukan untuk menjaga ketertiban, mencegah pelarian, atau melindungi tersangka dari bahaya.
Proses hukum acara pidana ketiga adalah penahanan. Jika tersangka ditangkap, ia dapat ditahan sementara untuk proses selanjutnya. Penahanan ini dilakukan berdasarkan keputusan hakim atau kebijakan hukum yang berlaku.
Proses hukum acara pidana keempat adalah penyidikan. Setelah penangkapan, proses penyidikan dimulai. Penyidikan dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang lebih mendalam tentang tindak pidana yang diduga terjadi. Selama penyidikan, tersangka, saksi, dan bukti-bukti akan diperiksa lebih lanjut untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan.
Proses hukum acara pidana kelima adalah penuntutan. Setelah penyidikan selesai, jaksa penuntut umum akan menentukan apakah ada cukup bukti untuk mengajukan dakwaan terhadap tersangka. Jaksa penuntut umum akan mempertimbangkan kekuatan bukti dan kesesuaian hukum dalam memutuskan apakah akan menuntut atau menghentikan perkara.
Proses hukum acara pidana keenam adalah persidangan. Jika jaksa penuntut umum memutuskan untuk menuntut, persidangan akan dilakukan di pengadilan. Persidangan melibatkan para pihak yang terlibat, seperti jaksa penuntut umum, pengacara pembela, terdakwa, saksi, dan hakim.
Selama persidangan, bukti-bukti dan argumen akan disajikan, dan hakim akan memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.
Suatu adagium yang artinya, Undang-undang harus memberikan Peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung didalamnya Adagium tersebut cocok bilamana dikaitkan dengan penerapan
pasal 109 Ayat (1) tentang Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang telah dinyatakan Inskonstitusional Bersyarat Melalui Putusan Mahkamah Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Secara global sistem acara pidana itu terdiri dari 2 (dua) tahap, tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan sidang.
Pemeriksaan pendahuluan terdiri dari tahap penyidikan dan penuntutan. Antara tahap pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan
sidang ada tahap yang berbentuk pre trial justice (hakim persidangan). Di Belanda disebut rechter commisaris, diperancis namanya jus d’instructions.
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang diberi mandat oleh Undang-undang untuk melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan dan kewenangan lainnya.
Secara etimologi Penuntut Umum berasa dari kata prosecution yang berasal dari bahasa latin prosecutus yang terdiri dari kata pro (sebelum) dan sequi (mengikuti).
Oleh karenanya penjelasan tersebut, secara etimologis penuntut umum dimaknai sebagai Dominus Litis (procuruer die de procesvoering vastselat) yaitu pengendali proses perkara dari tahap awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi putusan.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan, dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.
Tujuan penyelidikan bertujuan untuk menemukan peristiwa pidananya sedangkan tujuan dari penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dan fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Sebagai lembaga penegak hukum, Kepolisian Republik Indonesia diberikan wewenang untuk melakukan Penyelidikan dan Penyidikan guna membuat terang suatu peristiwa pidana dan mencari siapa tersangkanya.
Dalam pelaksanaan kewenangan Polri
mendasari pada KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Hal ini juga didasari bahwa Indoensia merupakan negara Hukum oleh karenanya, segala perbuatan aparat maupun pejabat harus didasari pada kewenangan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Rangkaian proses pemeriksaan pendahuluan (Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan) merupakan proses pengawasan horizontal antara Penuntut Umum dengan Penyidik.
Dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP menyebutkan : dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu pristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.
Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau yang biasa disebut dengan SPDP.
Mekanisme ini merupakan aktualisasi prinsip Dominus Litis serta upaya koordinasi antara Penuntut Umum dengan Penyidik.
Selain itu, juga sebagai sarana kontrol terhadap suatu perkara untuk menjamin nilai-nilai Due Process of Law dan mencegah terjadinya suatu pelanggaran/kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka.
Mulanya, SPDP hanya diberikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP pada frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum” inskonstitusional
bersyarat tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Sebagai konsekuensinya, SPDP yang semula hanya diperuntukan kepada Penuntut Umum menjadi wajib diberikan juga kepada para pihak yaitu terlapor dan korban/pelapor.
Putusan MK tersebut dianggap suatu terobosan untuk memperkuat posisi Penuntut Umum sebagai pengendali suatu perkara pidana serta memberikan ruang kepada terlapor untuk mempersiapkan pembelaan serta sebagai informasi bagi pelapor/korban bahwa kasusnya telah naik ketahap selanjutnya.
Pelaksanaan SPDP pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dirasa masih belum optimal, terdapat masalah-masalah yang sering dijumpai seperti tidak diserahkannya SPDP maupun SPDP yang diserahkan secara terlambat kepada para pihak.
Oleh karena pentingnya SPDP serta akibat hukum bilamana SPDP tidak diberikan kepada para pihak sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 130/PUU-XIII/2015.
SPDP sebagai Mekanisme Kontrol Suatu Perkara Pidana.
Lebih jauh terkait SPDP sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUUXIII/2015. Terlebih dahulu dijelaskan terkait Kedudukan Penuntut Umum dalam Proses penyidikan.
Dalam pasal 110 Ayat (1) KUHAP menyebutkan “dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum, lebih lanjut dalam Ayat (1) dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi”.
Frasa “petunjuk untuk dilengkapi” sebagaimana tersebut diatas, memberikan arti bahwa Penuntut Umum baru bisa melakukan perannya sebagai Pengendali perkara bilamana Penyidik sudah memberikan berkas penyidikannya.
Tanpa adanya penyerahan hasil berkas penyidikan, Penuntut Umum tidak dapat menjalankan perannya sebagai pengendali perkara. Berkas penyidikan tersebut juga akan dipelajari, diteliti kemudian diberi masukan kepada penyidik.
Dalam frasa tersebut juga Penuntut Umum tidak bisa secara aktif mengontrol penggunaan wewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan baik secara substansi ataupun prosedural.
Penuntut Umum sepatutnya memiliki kewajiban untuk berperan aktif dalam penyidikan dalam bentuk memberi petunjuk atau arahan kepada penyidik sejak awal tahap penyidikan, karena pada dasarnya setiap upaya penyidikan dilakukan dengan tujuan melakukan penuntutan.
Olehkarena itu, Penuntut Umum berkepentingan untuk terlibat aktif dalam tahap penyidikan, bukan sekedar menyempurnakan hasil kerja penyidik saja.
Mekanisme kontrol yang dilakukan Penuntut Umum terhadap suatu perkara diharapakan dapat terciptanya check and Balances terhadap penggunaan kewenangan yang digunakan oleh Penyidik dalam melaksanakan Penyidikan. Koordinasi antara Penuntut Umum dan Penyidik dimulai saat diserahkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP.
Dengan demikian Penuntut Umum dapat melakukan penelitian dan pemantauan atas jalannya suatu penyidikan.
” Seluruh perusahaan media dan wartawan yang bernaung di Forum Pers Independent Indonesia (FPIl) sebagai konstituen Dewan Pers Independen (DPI) se-Indonesia akan mengawal kasus ini hingga pelaku mendapatkan hukuman sesuai UU yang berlaku.” pungkas Lilik Adi Gunawan. (Tim/Red).
Sumber: Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII)
Tidak ada komentar